
Tolak Impunitas !
AA Gde Bagus Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali. Ia dijemput, dibawa ke rumah I Nyoman Susrama di Banjar Petak, Bangli, pada 11 Fabruari 2009. Susrama si pemilik rumah, sudah menyiapkan rencana untuk Narendra Prabangsa.
Ia dibantu enam anak buahnya, Komang Gede, Nyoman Rencana, I Komang Gede Wardana alias Mangde, Dewa Sumbawa, Endy, dan Jampes, menghabisi Narendra Prabangsa. Tubuhnya kemudian dibuang ke perairan Padangbai, Karangasem. Lima hari kemudian, jasad Narendra ditemukan terapung di Teluk Bungsil, Bali.
Motif pembunuhan itu karena masalah pemberitaan. Prabangsa menulis dugaan korupsi sejumlah proyek di Dinas Pendidikan Bangli, pada Desember 2008 sampai Januari Januari 2009. Susrama, pemimpin proyek itu pun merencanakan pembunuhan terhadap Prabangsa agar korupsi tak terungkap.
Kasus itu perlahan bisa diungkap, polisi menangkap dan menetapkan Susrama serta enam anak buahnya sebagai tersangka. Dalam persidangan, Susrama terbukti menjadi merencanakan pembunuhan dan turut serta dalam pembunuhan itu.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Denpasar pada 15 Februari 2010 menjatuhkan vonis penjara seumur hidup terhadap Susrama. Vonis itu lebih ringan dibanding tuntutan jaksa berupa hukuman mati. Sementara anak buah Susrama dihukum 5 – 20 tahun penjara.
Mereka mengajukan banding, tapi ditolak oleh Pengadilan Tinggi Bali. Mahkamah Agung pada 24 September 2010 pun menolak kasasi yang diajukan Susrama. MA sependapat dengan putusan Pengadilan Negeri Denpasar yang memvonis Susrama hukuman penjara seumur hidup.

Jurnalis di Malang Raya meletakkan perangkat kerja sebagai protes remisi untuk pembunuh jurnalis (Foto : Falahi mubarok)
Suram Pengungkapan Kasus Pembunuhan Wartawan
Putusan hukuman terhadap Susrama menjadi sejarah tersendiri. Sebab ini kali pertama kasus pembunuhan terhadap wartawan bisa mengungkap aktor utamanya dan menjatuhkan vonis hukuman. Ironisnya, Presiden Joko Widodo memberi remisi terhadap Susrama, pembunuh jurnalis Prabangsa.
Remisi dari hukuman penjara seumur hidup menjadi 20 tahun penjara. Remisi ditetapkan Jokowi melalui Keputusan Presiden Nomor 29 Tahun 2018 tentang Perubahan dari Pidana Penjara Seumur Hidup Menjadi Pidana Penjara Sementara. Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly berdalih pemberian remisi karena pembunuhan terhadap jurnalis bukan kejahatan luar biasa.
Mengutip Committe to Protect Journalist (CPJ), sejak 1996 – 2012 tercatat ada 11 kasus pembunuhan terhadap wartawan di Indonesia. Dari seluruh kasus itu, hanya pembunuhan terhadap Prabangsa yang bisa mengungkap sampai aktor utamanya. Motif pembunuhan sebagian besar karena pemberitaan korupsi sampai terkait kekuatan politik lokal.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat ada 680 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama 2006 – 2018. Bentuk kekerasan itu mulai ancaman/teror, intimidasi lisan oleh pejabat publik, kekerasan fisik, mobilisasi massa, pemidanaan, pengusiran/pelarangan peliputan, perusakan alat kerja sampai larangan pemberitaan. Pelaku kekerasan terhadap jurnalis itu mulai dari anggota ormas, pejabat pemerintah, polisi, aparat pemerintah daerah, orang tak dikenal maupun warga.

Jurnalis di Malang Raya menuntut Jokowi mencabut remisi untuk pembunuh jurnalis (Foto : Falahi Mubarok)
Kasus Pembunuhan Terhadap Jurnalis
Udin
Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin jurnalis Harian Bernas, Yogyakarta. Ia meninggal pada 16 Agustus 1996 di rumah sakit setelah terluka parah pada perut dan kepala. Luka akibat diserang dengan brutal di rumahnya oleh dua orang tak dikenal menggunakan batang besi tiga hari sebelumnya.
Udin dibunuh karena berita yang ditulisnya tentang sengketa tanah dan korupsi yang melibatkan Bupati Bantul saat itu. Penanganan kasus ini penuh rekayasa. Sampai hari ini, kasus pembunuhan Udin belum terungkap.
Sayuti Bochari
Sayuti Buchari, jurnalis Tabloid Mingguan Pos Makasar di Ujungpandang. Sayuti ditemukan dalam kondisi terluka dan tak sadarkan diri pada 9 Juni 1997 di dekat motornya di sebuah jalan Desa Luwu, Ujungpandang. Ia meninggal di sebuah rumah sakit dua hari kemudian.
Diduga, Sayuti tewas setelah dianiaya karena beberapa berita yang dituliskan. Ia pernah meliput dugaan penggelapan dana kemiskinan oleh pejabat pemerintah daerah setempat. Serta menulis tentang pencurian kayu yang melibatkan seorang kepala desa. Polisi menyebut peristiwa itu murni kecelakaan lalu lintas. Tak ada penyelidikan lanjutan kasus ini.
Naimullah
Naimullah jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat. Ia dibunuh di dalam mobilnya di Pantai Penimbungan pada 25 Juli 1997. Saat jasadnya ditemukan, kondisinya mengenaskan dengan luka tusuk di leher, memar di kepala, dada dan pergelangan tangan.
Sebelum ditemukan tewas, Naimullah menulis tentang pembalakan liar di Kalimantan. Mengungkap dugaan keterlibatan polisi dalam aktivitas pembalakan liar tersebut. Tidak ada upaya pengusutan dari polisi mengenai kasus pembunuhan ini.
Agus Mulyawan
Agus Mulyawan adalah jurnalis Asia Press yang meliput pasca jajak pendapat di Timor Timur pada tahun 1999. Agus tewas dalam penembakan di pelabuhan Qom, Los Palos, pada 25 September 1999. Peristiwa yang diduga melibatkan milisi binaan militer Indonesia itu juga menewaskan 7 orang lainnya.
Muhammad Jamaluddin
Muhammad Jamaluddin, seorang juru kamera TVRI yang bekerja di Aceh. Ia hilang sejak 20 Mei 2003 dan ditemukan sudah tak bernyawa satu bulan kemudian di sebuah sungai. Kondisi jasadnya terikat dengan penuh luka. Diduga, Jamaluddin tewas terkait peliputan konflik Aceh yang masa itu berstatus Daerah Operasi Militer (DOM) oleh Pemerintah Indonesia.
Ersa Siregar
Ersa Siregar jurnalis RCTI yang meliput konflik di Aceh. Ia sebelumnya diculik oleh anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Ia tewas saat baku tembak antara GAM dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) pada 29 Desember 2003. Kepala Staf TNI AD, Ryamizard Ryacudu saat itu mengakui Ersa tewas tertembus peluru TNI. Tidak ada tindakan hukum yang diambil atas peristiwa tersebut.
Herliyanto
Herliyanto seorang jurnalis Tabloid Delta Pos Sidoarjo. Ia ditemukan tewas di hutan jati Probolinggo, pada 29 April 2006. Herliyanto diduga dibunuh karena menulis berita dugaan penyelewengan beras melibatkan kepala desa setempat. Pengadilan membebaskan tiga orang yang sebelumnya ditetapkan polisi sebagai tersangka. Sampai hari ini, tidak ada perkembangan penanganan kasus tersebut.
Narendra Prabangsa
AA Gde Bagus Narendra Prabangsa, wartawan Radar Bali dibunuh pada 11 Februari 2009. Ia dieksekusi oleh 6 orang di rumah pribadi Nyoman Susrama, otak pembunuhan itu. Motifnya, berita yang ditulis Prabangsa soal dugaan korupsi proyek Dinas Pendidikan. Proyek yang dipimpin oleh Susrama.
Jaksa menuntut Susrama hukuman mati. Pengadilan Negeri Denpasar pada 15 Februari 2010 mengetok vonis penjara seumur hidup. Mahkamah Agung pada 24 September 2010 menolak kasasi yang diajukan oleh Susrama. Presiden Jokowi menerbitkan Keppres nomor 29 tahun 2018, isinya memberi remisi pada Susrama dari penjara seumur hidup menjadi penjara 20 tahun.
Ardiansyah Matra’is Wibisono
Ardiansyah Matra’is Wibisono adalah jurnalis televisi lokal di Merauke, Papua. Ia ditemukan meninggal pada 29 Juli 2010. Matra’is sebelumnya dietahui kerap meliput persaingan di antara para pejabat daerah setempat dalam memperebutkan proyek agrobisnis. Tidak ada lanjutan penanganan kasus itu.
Alfred Mirulewan
Jurnalis Tabloid Pelangi di Maluku ini ditemukan tewas pada 18 Desember 2010. Alfred Mirulewan diduga dibunuh karena menulis berita tentang kelangkaan bensin di Pulau Kisar. Polisi menetapkan empat orang sebagai tersangka dan divonis bersalah oleh pengadilan. Tetapi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dalam laporannya menyebut dalang pembunuhan sebenarnya belum tertangkap.
Ridwan Salamun
Ridwan Salamun, koresponden untuk Sun TV tewas saat meliput bentrok warga di daerah Tual, Maluku Tenggara pada 21 Agustus 2010. Saat peristiwa itu, peralatan kerjanya turut hilang. Pelaku pembunuhan sempat dinyatakan bebas oleh Pengadilan Negeri. Mahkamah Agung dalam putusan kasasinya pada 2 Januari menjatuhkan vonis 4 tahun penjara pada pelaku pembunuhan itu.